Minggu, 17 Januari 2010

Renungan Kehidupan

ARTI HIDUP
Semua manusia, tanpa terkecuali, pasti akan mati. Bila demikian, lalu apa sebenarnya yang akan dituju oleh manusia di alam dunia ini. Apakah manusia hidup semata-mata hanya untuk bekerja, berumah tangga, bersenang-senang dengan harta yang dimilikinya, ataupun berkeluh kesah dalam kemiskinan; kemudian ia lalu mati tidak berdaya? Apakah setelah mati itu ia akan hilang menguap seperti halnya api obor yang padam? Atau, apakah manusia yang dilahirkan dalam “ketiadaan” itu akan mati dalam “ketiadaan” pula? Bila ya, apakah berarti hidup manusia di dunia ini sia-sia belaka? Tentu tidaklah demikian. Allah telah berfirman, bahwa manusia akan terus ada dan tidak akan pernah menghilang atau menguap. Manusia akan menjalani kehidupan abadi di akhirat.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sesungguhnya yang dituju oleh semua manusia adalah akhirat! Cepat atau lambat, suka atau tidak suka, semua manusia pasti akan menuju ke sana.
Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian sia-sia, dan bahwa sesungguhnya kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? (Al-Mu’minun: 115)
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan diberikan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (Al-Qiyamah: 36)
Sesungguhnya hari kiamat akan datang (dan) Aku merahasiakan (waktunya) agar tiap-tiap diri dibalas dengan apa yang diusahakannya. (Thaahaa: 15)
Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.(Al-Ankabuut: 64)


Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih. (Al-Israa’: 10)
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. (Al-Israa’: 9)
Keterangan singkat yang diuraikan di atas, sekilas tampaknya sederhana, namun bila Nanda renungkan baik-baik, makna yang tersirat sangatlah dalam. Pahamilah hal ini dengan baik. Karena inilah fundamen yang paling mendasar untuk dapat menemukan atau mengerti kebenaran hidup yang hakiki.


KEBERADAAN MANUSIA MELALUI PROSES

Allah selalu menciptakan sesuatu secara bertahap, yaitu dengan melalui suatu proses yang berkesinambungan. Manusia misalnya, ia diciptakan tidak langsung dewasa. Tetapi melalui proses yang bermulai dari bentuk air, lalu menjadi janin, kemudian menjadi bayi, lalu menjadi anak-anak, dan akhirnya menjadi dewasa. Demikian juga dengan tanaman. Dimulai dari biji, kemudian timbul tunas, batang, daun dan seterusnya, sampai akhirnya berbunga atau berbuah.
Yang perlu Nanda sadari dari fenomena ini ialah, baik atau buruknya kualitas manusia atau pun tumbuhan setelah dewasa nanti, sangat ditentukan oleh proses pemeliharaan atau bekal yang diterimanya dari sejak dini. Kualitas manusia di dunia, ditentukan sejak mulai berada dalam perut ibunya. Si calon ibu ini memakan makanan yang bergizi agar kelak bayinya sehat. Kemudian bayi ini diberinya makanan yang baik, serta dilindungi keamanannya supaya menjadi anak yang sehat. Selanjutnya, anak ini dilengkapi dengan gizi dan bekal pendidikan yang cukup, di sekolahkan yang tinggi, sehingga pada akhirnya ia menjadi orang.
Tumbuhan pun demikian. Pemeliharaannya dari sejak kecil -diberi pupuk, disiram, disiangi, dilindungi dengan anti hama akan menentukan kualitas tumbuhan itu pada saat ia berbunga atau berbuah.
Demikian pulalah kiranya Allah menjadikan eksistensi manusia di akhirat.
Kualitas manusia di akhirat nanti, akan ditentukan setelah ia melalui proses ujian demi ujian terhadap ketaatannya pada Allah selama hidupnya di dunia. Sehingga dengan demikian, kualitas kalian di akhirat nanti, tergantung pada keberhasilan Nanda sendiri dalam mengatasi ujian-ujian yang dihadapi, apakah mampu selalu taat mengikuti perintah-perintah-Nya, atau membangkang sebagaimana yang dilakukan iblis ketika diperintahkan sujud kepada Adam.
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan. (An-Nisaa’: 13, 14)

TUJUAN  HIDUP
Setelah Nanda memahami apa yang akhirnya akan dituju oleh setiap manusia, serta “kualitas” berasal dari suatu proses, maka yang perlu kalian ketahui selanjutnya adalah, apa sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia. Seseorang yang tidak mengetahui untuk apa tujuan hidupnya, maka pastilah ia tidak mengerti siapakah dirinya itu, dan dari mana ia berasal.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, kehidupan di alam dunia ini sesungguhnya adalah awal kehidupan bagi manusia. Dan awal kehidupan ini sangat penting, karena bukankah awal yang baik akan membuahkan hasil akhir yang baik pula?
Selanjutnya, dengan memperhatikan firman-firman Allah yang telah dikutip sebelum ini, jelaslah bahwa tujuan hidup manusia di dunia ini, pada hakikatnya adalah untuk mencari atau mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya bagi kehidupan akhirat. Tingkat manusia di akhirat nanti, akan ditentukan oleh sedikit banyaknya bekal yang dibawa dari dunia. Semakin banyak bekalnya, maka akan semakin tinggi pula tingkat kemuliaannya. Apakah yang dimaksud dengan bekal itu? Jika untuk mencapai kedudukan tinggi di masyarakat kita harus berbekal pendidikan yang cukup, maka untuk mencapai kedudukan tinggi di akhirat nanti, yang kita perlukan adalah pahala.
Dengan demikian dapatlah dikatakan, kehidupan di alam dunia ini adalah arena untuk mengumpulkan pahala bagi kehidupan akhirat. Semakin banyak pahala yang berhasil kita raih, maka semakin tinggi pula tingkat kita kelak.
Abdullah bin Abbas berkata:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan dunia terdiri atas tiga bagian; sebagian bagi mukminin, sebagian bagi orang munafik, sebagian bagi orang kafir. Maka orang mukmin menyiapkan perbekalan, orang munafik menjadikannya perhiasan dan orang kafir menjadikannya tempat bersenang-senang.”



cepsasdika.blogspot.com

Dan taqwa pun berdifinisi

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah: 183).


Sebagaimana dalam firman Allah tersebut, maka bisa kita pahami bersama bahwa kewajiban atas berpuasa kepada kita adalah untuk mencapai derajat takwa, adapun pengertian umum yang sangat populer mengenai istilah takwa adalah menaati perintah ALLAH SWT dan menjauhi laranganNya, sedangkan Hasan Al-Bashri seorang salafush shalih mendefinisikan takwa dengan sebuah ungkapan, “Menaati Allah dan tidak maksiat, selalu berdzikir dan tidak lupa, senantiasa bersyukur dan tidak kufur.” Sifat takwa senantiasa melekat pada seorang yang mukmin selama ia meninggalkan hal-hal yang sebenarnya halal, karena khawatir jatuh ke dalam yang haram.


Dalam kitab tafsir Fii Zhilaal Al-Qur`an karya Imam Syahid Sayyid Quthb dijelaskan mengenai penafsirkan surat Al Baqoroh ayat 2:


”Kitab (al qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”


Ditulis dalam tafsir tersebut mengenai riwayat Umar Ibnul khatab dalam memberikan definisi takwa, riwayatnya adalah sebagai berikut :


bahwa Umar Ibnul khathab r.a pernah bertanya kepada Ubay bin ka’ab tentang takwa, lalu Ubay menjawab sambil bertanya, “Pernahkah engkau melewati jalan yang penuh duri?” Umar menjawab, “Pernah”, Ubay bertanya lagi, “Apakah gerangan yang akan kau lakukkan?” Umar menjawab, Aku berhati-hati dan berupaya menghindarinya, “Ubay berkata..”Itulah Takwa.”


Itulah takwa, sensitivitas dalam hati, kepekaan dalam perasaaan, responsive, selalu takut, senantiasa berhati-hati dan selalu menjaga diri dari duri-duri jalan, jalan kehidupan, yang penuh dengan duri kesenangan dan syahwat, duri-duri keinginan dan ambisi duri kekhawatiran dan ketakutan duri-duri harapan palsu terhadap orang yang tidak memliliki kemampuan untuk memenuhi harapan dan ketakutan palsu kepada orang yang tidak memliliki kekuasaan untuk memberikan manfaat dan mudharat dan berpuluh-puluh macam duri lainnya.


Saudaraku sekalian, sangatlah pantas bahwa seorang hamba yang telah mempercayai keberadaan Allah akan berhati-hati dalam bertindak, sebab segala perkataan dan perbuatan akan ada yang mengawasinya.


Dalam mencari rizki misalnya, mulai dari langkah kaki ketika berangkat, setiap pandangan mata, setiap ucapan yang dikeluarkan, sesuatu yang didengar serta perbuatan tangannya tidak ada yang luput dari pengawasan sang Maha mengetahui lagi Maha melihat.


Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Qs : Al israa 30.)


Berbeda dengan tim audit yang diturunkan oleh perusahaan dalam mengawasi kinerja karyawannya, audit yang dilakukan oleh Allah SWT dilaksanakan setiap waktu dan pengawasanNya tersebut  tanpa celah, tanpa cacat, tanpa kompromi dan tanpa kepentingan, selain itu reward and punishment yang diberikan pun secara menyeluruh, baik perbuatan kecil ataupun besar, sederhana ataupun komplex.


Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Qs : Al Zalzalah 7-8)


Saudaraku yang dirahmati Allah,
Semoga definisi serta uraian singkat mengenai takwa ini mampu menggugah keinginan serta semangat kita dalam menyambut bulan suci ramadhan yang tinggal hitungan hari, yakni bulan dimana seluruh aktifitas untuk melatih ketakwaan disediakan. Persiapkan ilmu, fisik dan mental untuk melaksanakannya dari sekarang sehingga Insya Allah output dari proses ramadhan ini akan kita peroleh.


Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang  BERTAQWA(QS. 2:2)
Hai manusia, sembahlah Rabb-mu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu BERTAQWA. (QS. 2:21)
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan BERTAQWALAH kepada Allah supaya kamu beruntung. (QS. 3:200)
Hai sekalian manusia, BERTAQWALAH kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan....................... (QS. 4:1)
maka BERTAQWALAH kepada Allah dan taatlah kepadaku. (QS. 26:108)
di surah 26 ini bahkan kata Bertaqwa itu di ulang sampai beberapa kali….
kemudian ....
Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang BERTAQWA.’ (QS. 39:33)
Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat TAQWA dan adalah mereka berhak dengan kalimat TAQWA itu dan patut memilikinya.Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. 48:26)


Ada yang membagi dalam 2 Definisi Taqwa =  1. Hati-hati   2. Meninggalkan yang tidak berguna


Taqwa itu berarti takut


Definisi taqwa untuk kehidupan sehari-hari, dlm Al-Quran sudah jelas:
”(Yang bertaqwa yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS Al-Baqarah [2]: 3 - 5)


cepsasdika.blogspot.com 








Hal-hal yang melemahkan iman

Fluktuasi Iman
Secara fitrah manusi memiliki kecenderungan untuk berbuat fujur (dosa) dan ketaqwaan (QS.91 : 9-10)  Hal ini mengakibatkan keimanan seseorang mengalami fluktuasi (terkadang naik terkadang turun).  “ Keinginan itu bisa bertambah atau berkurang.  Maka perbaharui iman kalian dengan Laa Ilaaha Illallah. (HR. Ibnu Islam)
 Fenomena Lemahnya Iman
1. Terjerumus dalam kemaksiatan
Suatu perbuatan yang sering dilakukan dapat membentuk sebuah kebiasaan.  Begitu pula dengan kemaksiatan.  Bila sering dilakukan ia pun akan menjadi sebuah kebiasaan, yang jika terbiasa seseorang akan berani berbuat secara terang-terangan.
2. Tidak tekun dan bermalas-malasan dalam beribadah
Salah satu ketidaktekunan dalam beribadahialah tidak khusu’ (konsentrasi) dalam mengerjakannya.  
Contoh : tidak khusu’ dalam shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa dan lain-lain.  Sehingga ibadah tersebut dilakukan dengan jiwa yang kosong tanpa Ruh (QS.4 :142).  Padahal dalam sebuah hadits dikatakan : “ Tidak akan diterima doa dari hati yang lalai dan main-main”  (HR. Tirmidzi)
3. Memudarnya tali ukhuwah
Tidak memperhatikan urusan kaum muslimin.  Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang-orang mukmin itu bagai satu tubuh. Dari An-Nu’man Bin Basyir ra. katanya Rasullullah SAW bersabda : “ Orang-orang mukmin itu laksana satu tubuh manusia.  Bila matanya sakit maka sakitlah seluruh tubuhnya atau bila kepalanya sakit maka sakitlah seluruh tubuhnya.” (HR. Muslim)
4. Terputusnya tali persaudaraan di antara dua orang yang semula bersaudara.
Tidak selayaknya dua orang yang saling mengasihi karena Allah ‘Azza Wa Jalla, atau karena Islam, lalu keduanya dipisahkan oleh permulaan dosa yang dilakukan salah seorang antara keduanya (HR. Bukhari)
5. Terpaut kepada urusan duniawi dan terlalu mencintainya (QS. 75:20-21)
6. Mengeluh dan takut akan musibah (QS. 70:19-21)
Janganlah kamu sekali-kali mencela yang ma’ruf sedikitpun, meski engkau hanya menuangkan air ke dalam bejana seseorang yang hendak menimba air.  Atau meski engkau hanya berbicara dengan saudaramu sedang wajahmu tampak berseri kepadanya. (HR. Ahmad)
7. Mencela yang ma’ruf  dan tidak mau memperhatikan kebaikan-kebaikan yang kecil.
8. Banyak berdebat dan bertikai yang mematikan hati.
Akibatnya hati menjadi keras dan kaku.
Sebab-sebab Lemahnya Iman
·   Jauh dari suasana atau lingkungan iman dalam waktu yang lama (QS.57 :16)
·   Jauh dari pelajaran dan teladan yang baik                                                                                                                             
·   Jauh dari menuntut ilmu syariat yang dapat membangkitkan iman didalam hati penuntutnya “Ilmu itu adalah yang menghidupkan (Ruh) Islam dan tiangnya iman. (HR. Abu Daud)
·   Berada ditengah lingkungan yang penuh kemaksiatan.
Rasulullah Saw bersabda : “ Sesungguhnya jika seseorang mukmin berbuat dosa maka terjadilah di hatinya sebuah titik hitam, jika ia beristighfar, maka bersihlah kembali hatinya.  Jika tidak bertaubat dan bertambah terus amal jahatnya maka bertambah banyaklah titik hitam tadi sehingga tertutup hatinya. “
·    Tenggelam dalam kesibukkan dunia.
·   Cukuplah bagi salah seorang diantara kamu selagi ia di dunia hanya seperti bekal orang yang   mengadakan perjalanan. (HR.Thabrani)
·   Sibuk mengurusi harta benda, istri dan anak-anak (QS. 8:28,3:14)
·    Panjang angan-angan (Berangan yang muluk-muluk) (QS,15:3)
Ali ra pernah berkata : Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan atas diri kalian ialah mengikuti hawa nafsu dan angan-angan yang muluk.  Mengikuti hawa nafsu akan menghalangi dari kebenaran, sedangkan angan-angan yang muluk akan melupakan akhirat.
·   Berlebih-lebihan dalam masalah makan, tidur, berjaga di waktu malam, berbicara, bergaul, dan juga tertawa.


Janganlah kamu sekalian memperbanyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati. (HR. Ibnu Majah)


cepsasdika.blogspot.com 

Arti Taqwa yang sebenarnya

 “Jika penduduk suatu negeri beriman dan berTaqwa, Kami akan bukakan berkat dari langit dan bumi” (Al A’raf : 96)
“ALLAH menjadi pembela (pembantu) bagi orang yang berTaqwa” (Al Jatsiyah: 19)
“Akan Aku wariskan bumi ini kepada orang-orang yang sholeh (berTaqwa)” (Al Anbiya: 105)

Kejayaan suatu bangsa yang kejayaan tersebut bersifat selamat dan menyelamatkan tidak akan bisa diraih kecuali melaui jalan Taqwa. Bila melalui jalan selain
Taqwa maka akan lahir berbagai macam kerusakan di muka bumi. Sebagaimana telah ALLAH firmankan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di bumi di sebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya ALLAH merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Ar Rum : 41)

Bangsa yang berTaqwa tentulah masyarakatnya adalah masyarakat yang berTaqwa. Masyarakat yang berTaqwa tidak mungkin terwujud tanpa terwujudnya keluarga-keluarga yang berTaqwa. Dan keluarga-keluarga yang berTaqwa tentu mustahil terwujud bila insaniah dalam keluarga tidak berTaqwa. Artinya, supaya bangsa ini bangkit dan mendapat kejayaan, insan bangsa ini perlu dibina dan dididik menjadi orang yang berTaqwa. Apa sebenarnya Taqwa itu? Mengapa bila disebut kata Taqwa, kita sudah tidak merasakan apa-apa lagi? Mengapa kata Taqwa tidak lagi berkesan pada jiwa kita padahal setiap khutbah Jumat khatib selalu mewasiatkan Taqwa? Mengapa Taqwa ini seperti dipinggirkan, padahal Taqwa ini adalah kunci kemenangan dan kejayaan umat Islam di dunia dan akhirat.
Hari ini, sudah 81 tahun berlalu semenjak kejatuhan khilafah Islam. Artinya, jauh sebelum kejatuhan secara resmi tersebut, umat Islam sudah lama menjadi lemah. Umat Islam telah terserang penyakit cinta dunia dan takut akan kematian. Fakta sejarah ini jelas telah menunjukkan kepada kita bahwa sudah lama umat Islam ini kehilangan sifat Taqwa. Sehingga kebanyakan orang tidak lagi paham apa sebenarnya Taqwa. Walaupun Taqwa selalu disebut tetapi ilmu tentang Taqwa tidak pernah diajarkan. Jalan untuk mendapatkan Taqwa tidak pernah diberitahu. Syarat-syarat dan rukun-rukun Taqwa juga tidak pernah lagi dinyatakan. Wajarlah jika kemudian bagi sebagian orang, perkataan Taqwa tidak ada arti apa-apa lagi karena kebanyakan orang sudah tidak paham.
Taqwa bukan sekedar melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan ALLAH. Orang melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan tidak selalu berdasarkan Taqwa. Mereka taat mungkin karena ada sebab lain seperti menginginkan upah, ingin dipuji, dan ingin pengaruh. Mereka juga meninggalkan yang dilarang bisa karena ingin menjaga nama baik, takut dihukum, takut dihina,dan takut diasingkan. Begitulah arti Taqwa telah disalahartikan. Maksud dari Taqwa telah disempitkan.
Taqwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara. Hujahnya adalah Al Quran At Tahrim ayat 6 yang bermaksud: “Wahai orang yang beriman, hendaklah kamu memelihara kamu dan kelurgamu dari api neraka”. Dalam Al Quran, ALLAH sering menyeru dengan kalimat ittaqu atau yattaqi. Tambahan huruf pada asal kata waqa membawa perubahan makna. Di sini ittaqullah mempunyai maksud hendaklah kamu mengambil ALLAH sebagai pemelihara /benteng/pelindung. Yaitu hendaklah jadikan Tuhan itu pelindung. Jadikan Tuhan itu benteng. Bila sudah berada dalam perlindungan, kubu atau benteng Tuhan maka perkara yang negatif dan berbahaya tidak akan masuk atau tembus. Artinya jadikanlah Tuhan itu dinding dari segala kejahatan.
Orang yang berTaqwa adalah orang yang luar biasa disebabkan dia adalah manusia yang sudah bersifat malaikat. Dia sudah menjadi orang Tuhan. Sebab itulah dia dibantu dan dibela oleh Tuhan. Dan hanya orang berTaqwalah yang akan selamat dunia akhirat.

Taqwa, Aset Perjuangan Islam
Wed, 2007-01-17 15:05 — firman
Pada zaman khalifah Umar bin Khatab, beliau pernah suatu ketika memerintahkan pasukannya ke medan perang sambil berpesan: “Aku lebih takut dosa-dosamu dari pada musuh-musuhmu. Karena kalau kamu berdosa maka ALLAH akan membiarkan kamu kepada musuh-musuhmu “.
Kemudian pada suatu peperangan tentara Islam pernah tidak menang dan tidak kalah selama tiga bulan pertempuran. Ketika sayidina Umar bin Khatab tahu hal itu maka beliau pergi memeriksa pasukannya. Ternyata didapati mereka sudah tidak halus taqwanya. Mereka lalai bersugi (menyikat gigi) dan tidak meluruskan shaf-shaf shalat. Dan setelah hal-hal tersebut diperbaiki maka pasukan Islam pun dengan mudah memenangkan peperangan itu. Kalau kita lihat, baru tidak menyikat gigi dan tidak lurus shaf pun ALLAH hukum dan tidak membantu. Apalagi kalau pejuang-pejuang Islam tidak shalat, membuka aurat, melakukan riba, bergaul bebas, jatuh-menjatuhkan, menjelekkan, tamak dan berebut kuasa.

Taqwa berasal dari perkataan waqa-yaqi-wiqoyah yang artinya memelihara .
Hujahnya ialah ayat Al Quran seperti berikut:

Yaayyuhallazi naamanu quamfusakum waahlikum nara."
Maksudnya:
"Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu memelihara diri kamu dan keluarga kamu dari api Neraka." (At Tahrim: 6)
Taqwa artinya adalah dipelihara dan dilindungi oleh Allah. Taqwa bukan berarti takut. Taqwa pada Tuhan bukan berarti takut pada Tuhan. Takut kepada Tuhan hanyalah satu daripada sifat mahmudah (sifat baik) yang terangkum dalam sifat taqwa tetapi takut bukanlah taqwa. Takut dalam bahasa Arab ialah khauf atau khasya.
Usaha untuk menjadi orang bertaqwa artinya adalah menjadikan Allah sebagai pemelihara atau pelindung atau pembenteng. Usaha untuk itu adalah dengan melaksanakan perkara-perkara yang disuruh oleh Allah baik lahir maupun batin. Dengan kata lain, perkara yang disuruh itu ialah membina sifat-sifat mahmudah. Mengumpulkan dan menyuburkan sifat-sifat mahmudah itulah usaha bagi menjadikan Allah itu sebagai pemelihara atau pelindung. Membina sifat-sifat mahmudah itulah usaha ke arah taqwa.


Senin, 04 Januari 2010

Manusia berdasarkan 5 hukum islam

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (QS. Al-mu’minun:12-14)    
 
Pada surat diatas dijelaskan akan bagaimana proses pembentukan manusia yang semuanya terproses pada rahim seorang ibu. Ilmu pengetahuan sekarang telah membenarkan kalimat al-Qur’an diatas yang telah ada ber abad2 yang lalu yang saat itu ilmu pengetahuan belum mampu untuk membuktikan kebenaran al-Qur’an tersebut. Sehingga sudah seharusnya manusia semakin yakin akan kebenaran al-Qur’an, dan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup agar bisa menjadi manusia yang berkualitas.
Rasulullah SAW bersabda, :


"Khairunnas anfa’uhum linnas",
 "Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak mamfaatnya bagi orang lain." (HR. Bukhari dan Muslim)


Hadits ini seakan-akan mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauh mana derajat kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauh mana nilai manfaat diri ini? Istilah Emha Ainun Nadjib-nya, tanyakanlah pada diri ini apakah kita ini manusia wajib, sunat, mubah, makruh, atau malah manusia haram?


Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai jikalau keberadannya sangat dirindukan, sangat bermamfat, perilakunya membuat hati orang di sekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak dari seorang manusia wajib, diantaranya dia seorang pemalu, jarang mengganggu orang lain sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak kebaikannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, ia hemat betul kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat daripada berbicara. Sedikit kesalahannya, tidak suka mencampuri yang bukan urusannya, dan sangat nikmat kalau berbuat kebaikan. Hari-harinya tidak lepas dari menjaga silaturahmi, sikapnya penuh wibawa, penyabar, selalu berterima kasih, penyantun, lemah lembut, bisa menahan dan mengendalikan diri, serta penuh kasih sayang.


Bukan kebiasaan bagi yang akhlaknya baik itu perilaku melaknat, memaki-maki, memfitnah, menggunjing, bersikap tergesa-gesa, dengki, bakhil, ataupun menghasut. Justru ia selalu berwajah cerah, ramah tamah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan marahnya pun karena Allah SWT, subhanallaah, demikian indah hidupnya.


Karenanya, siapapun di dekatnya pastilah akan tercuri hatinya. Kata-katanya akan senantiasa terngiang-ngiang. Keramahannya pun benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yang sedang membara. Jikalau saja orang yang berakhlak mulia ini tidak ada, maka siapapun akan merasa kehilangan, akan terasa ada sesuatu yang kosong di rongga qolbu ini. Orang yang wajib, adanya pasti penuh mamfaat. Begitulah kurang lebih perwujudan akhlak yang baik, dan ternyata ia hanya akan lahir dari semburat kepribadian yang baik pula.


Orang yang sunah, keberadaannya bermamfaat, tetapi kalau pun tidak ada tidak tercuri hati kita. Tidak ada rongga kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi mungkin karena kedalaman dan ketulusan amalnya belum dari lubuk hati yang paling dalam. Karena hati akan tersentuh oleh hati lagi. Seperti halnya kalau kita berjumpa dengan orang yang berhati tulus, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke rongga qolbu siapapun.


Orang yang mubah, ada tidak adanya tidak berpengaruh. Di kantor kerja atau bolos sama saja. Seorang pemuda yang ketika ada di rumah keadaan menjadi berantakan, dan kalau tidak adapun tetap berantakan. Inilah pemuda yang mubah. Ada dan tiadanya tidak membawa mamfaat, tidak juga membawa mudharat.


Adapun orang yang makruh, keberadannya justru membawa mudharat. Kalau dia tidak ada, tidak berpengaruh. Artinya kalau dia datang ke suatu tempat maka orang merasa bosan atau tidak senang. Misalnya, ada seorang ayah sebelum pulang dari kantor suasana rumah sangat tenang, tetapi ketika klakson dibunyikan tanda sang ayah sudah datang, anak-anak malah lari ke tetangga, ibu cemas, dan pembantu pun sangat gelisah. Inilah seorang ayah yang keberadaannya menimbulkan masalah.


Lain lagi dengan orang bertipe haram, keberadaannya malah dianggap menjadi musibah, sedangkan ketiadaannya justru disyukuri. Jika dia pergi ke kantor, perlengkapan kantor pada hilang, maka ketika orang ini dipecat semua karyawan yang ada malah mensyukurinya.


Masya Allah, ada baiknya bagi kita untuk merenung sejenak, tanyakan pada diri ini apakah kita ini anak yang menguntungkan orang tua atau hanya jadi benalu saja? Masyarakat merasa mendapat mamfaat tidak dengan kehadiran kita? Adanya kita di masyarakat sebagai manusia apa, wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram? Kenapa tiap kita masuk ruangan teman-teman malah pada menjauhi, apakah karena perilaku sombong kita?


Kepada ibu-ibu, hendaknya tanyakan pada diri masing-masing, apakah anak-anak kita sudah merasa bangga punya ibu seperti kita? Punya mamfaat tidak kita ini? Bagi ayah cobalah mengukur diri, saya ini seorang ayah atau gladiator? Saya ini seorang pejabat atau seorang penjahat? Kepada para mubaligh, harus bertanya, benarkah kita menyampaikan kebenaran atau hanya mencari penghargaan dan popularitas saja?

cepsasdika.blogspot.com

Mengenal Tuhan

Sungguh, akulah Allah. Tiada tuhan selain aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Q.S. Tha-ha-14)


Dengan mempergunakan otak dan hatinya, tidak boleh tidak manusia yang berfikir secara sehat akan tiba pada pengakuan bahwa tuhan itu ada. Didalam ajaran islam yang bersumberkan Al-Qur’an dan As-sunnah kata yang dipakai untuk tuhan adalah Allah, seperti pada surat tha-ha-14. selain kata Allah, sering digunakan juga kata Rabb seperti pada surat Al-A’la 1-3.


Sucikanlah dan muliakanlah nama rabb-mu yang paling tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan dan yang menentukan ukuran (segala sesuatu), kemudian memimpinnya (menuju tujuan). (Q.S. Al-A’la 1-3).


Bukti yang paling kuat, paling meyakinkan akan adanya Allah ialah wahyu darinya. Wahyu bukan saja membenarkan adanya tuhan, tetapi juga memperkenalkan kepada kita sifat-sifat Allah. Dengan mengenal sifat-sifatnya itu manusiapun mau tak mau tertarik dan jatuh cinta kepadanya. Melalui wahyu yang terkumpul dalam Al-Qur’an manusia dapat mengenal dengan segala sifat-sifat yang baik.
Cara lain untuk mengenal Allah ialah dengan memperhatikan ciptaan-ciptaannya. Didalam Al-Qur’an cukup banyak terdapat ayat yang menyeru manusia untuk memperhatikan, meneliti dan merenungkan ciptaan-ciptaan tuhan. Semua yang ada di alam, baik makhluk hidup maupun tak bernyawa, disebut ayat – ayat tuhan, yang berarti “bukti-bukti adanya tuhan”. Dengan segala sifat-sifatnya.


Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. 30:22)


dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi inidengan berlain-lainan macamnya.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran. (QS. 16:13)


Yang menjadi landasan pokok ketuhanan dalam islam ialah kalimat tauhid yang berarti tidak ada tuhan yang disembah melainkan Allah. Diatas kalimat inilah tegak berdiri bangunan islam. Beriman kepadanya bukanlah dengan menyebut kalimat itu berkali-kali tanpa meresapkan maknanya tetapi tahu benar apa yang diikrarkannya itu, faham akan pertanggungan jawaban yang besar yang diletakkan di atas bahu manusia yang mengikrarkannya.






cepsasdika.blogspot.com





Tingkatan Qadha’ dan Qadar

 “ Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (lauh mahfuzh). sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”. (Al- Hajj:70)


Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, qadha’ dan qadar mempunyai empat tingkatan :


Pertama : Al-‘Ilm (pengetahuan)
Artinya mengimani dan meyakini bahwa Allah s.w.t maha tahu atas segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terperinci, baik itu termasuk perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhlukNya. Tak ada sesuatupun yang tersembunyi bagiNya.


Kedua : Al-kitabah (penulisan)
Artinya mengimani bahwa Allah s.w.t telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam lauh mahfuzh. Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah s.w.t dalam firmanNya:


“ Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (lauh mahfuzh). sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”.(Al- Hajj:70)


Dalam ayat ini disebutkan lebih dahulu bahwa Allah s.w.t mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi, kemudian dikatakan bahwa yang demikian itu tertulis dalam sebuah kitab lauh mahfuzh. Sebagaimana dijelaskan pula oleh Rasulullah s.a.w dalam sabdanya:


Pertama kali tatkala Allah s.w.t menciptakan qalam (pena), Dia firmankan kepadanya : tulislah!. Qalam itu berkata : ya Tuhanku, apakah yang hendak kutulis? Allah s.w.t berfirman : Tulislah apa saja yang akan terjadi ! maka seketika itu bergeraklah qalam itu menulis segala sesuatu yang akan terjadi hingga hari kiamat”.


Ketika Nabi Muhammad s.a.w ditanya tentang apa yang hendak kita perbuat, apakah sudah ditetapkan atau tidak ? beliau menjawab : “ sudah ditetapkan”.
Dan ketika beliau ditanya:


“ mengapa kita mesti berusaha dan tidak pasrah saja dengan takdir yang sudah tertulis ? beliapun menjawab :
berusahalah kalian, masing-masing akan dimudahkan menurut takdir yang telah ditentukan baginya”. Kemudian beliau mensitir firman Alah :


Adapun orang yang memberikan hartanya (di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya( jalan) yang mudah. Sedangkan orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya (jalan) yang sukar”.( Al Lail: 5 – 10)


Oleh karena itu hendaklah anda berusaha, sebagaimana yang diperintahkan nabi Muhammad r kepada para sahabat. Anda akan di mudahkan menurut takdir yang telah ditentukan Allah Y.

Ketiga : Al- Masyiah ( kehendak ).

Artinya: bahwa segala sesuatu, yang terjadi atau tidak terjadi, di langit dan di bumi, adalah dengan kehendak Allah s.w.t. hal ini dinyatakan jelas dalam Al-Qur’an Al –Karim. Dan Allah s.w.t telah menetapkan bahwa apa yang diperbuatNya, serta apa yang diperbuat para hambaNya juga dengan kehendakNya. Firman Allah :


( yaitu ) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki ( menempuh jalan itu ) kecuali apa bila dikehendaki Allah,Tuhan semesta alam”.     ( At Takwir : 28 -29)


“ jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya”.
( Al – An’am : 112)


“ ….Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehandakinya”.
( Al – Baqarah : 253)


Dalam ayat – ayat tersebut Allah s.w.t menjelaskan bahwa apa yang diperbuat oleh manusia itu terjadi dengan kehendakNya.
Dan banyak pula ayat– ayat yang menunjukkan bahwa apa yang diperbuat Allah adalah dengan kehendakNya. Seperti firman Allah :


“ Dan kalau kami menghendaki niscaya akan kami berikan kepada tiap – tiap jiwa petunjuk ( bagi ) nya….. ”.
( As Sajdah: 13)


“ jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”.
( Huud : 118)


Dan banyak lagi ayat – ayat yang menetapkan kehendak Allah dalam apa yang diperbuatNya. Oleh karena itu, tidaklah sempurna keimanan seseorang kepada qadar ( takdir) kecuali dengan mengimani bahwa kehendak Allah s.w.t meliputi segala sesuatu. Tak ada yang terjadi atau tidak terjadi  kecuali dengan kehendakNya. Tak mungkin ada sesuatu yang terjadi di langit  ataupun di bumi tanpa dengan kehendak Allah s.w.t.


Keempat : Al – Khalq ( penciptaan )
Artinya mengimani bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Apa yang ada di langit dan di bumi penciptanya tiada lain kecuali Allah s.w.t. Sampai “ kematian” lawan dari kehidupan itupun diciptakan .
 Allah. Firman Allah :




“ Yang menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun ”
( Al Mulk : 2)


Jadi segala sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi penciptanya tiada lain kecuali Allah s.w.t.. Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari hasil perbuatan Allah adalah ciptaanNya. Seperti langit, bumi, gunung, sungai, matahari, bulan, bintang, angin, manusia dan hewan kesemuanya adalah ciptaan Allah. Demikian pula apa yang terjadi untuk para makhluk ini  , seperti : sifat, perubahan dan keadaan, itupun ciptaan Allah s.w.t.


Akan tetapi mungkin saja ada orang yang merasa sulit memahami, bagaimana dapat dikatakan bahwa perbuatan dan perkataan yang kita lakukan dengan kehendak kita ini adalah ciptaan Allah s.w.t?
Jawabnya : ya, memang demikian, sebab perbuatan dan perkataan kita ini timbul karena adanya dua faktor, yaitu kehendak dan kemampuan. Apa bila perbuatan manusia timbul karena kehendak dan kemampuannya, maka perlu diketahui bahwa yang menciptakan kehendak dan kemampuan manusia adalah Allah s.w.t. Dan siapa yang menciptakan sebab dialah yang menciptakan akibatnya.


Jadi, sebagai argumentasi bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia maksudnya adalah bahwa apa yang diperbuat manusia itu timbul karena dua faktor, yaitu : kehendak dan kemampuan. Andaikata tidak ada kehendak dan kemampuan, tentu manusia tidak akan berbuat, karena andaikata dia menghendaki, tetapi tidak mampu, tidak akan dia berbuat, begitu pula andaikata dia mampu, tetapi tidak menghendaki, tidak akan terjadi suatu perbuatan. Jika perbuatan manusia terjadi karena adanya kehendak yang mantap dan kemampuan yang sempurna, sedangkan yang menciptakan kehendak dan kemampuan tadi pada diri manusia adalah Allah s.w.t, maka dengan ini dapat dikatakan bahwa yang menciptakan perbuatan manusia adalah Allah s.w.t.


Akan tetapi, pada hakekatnya manusialah yang berbuat, manusialah yang bersuci, yang melakukan shalat, yang menunaikan zakat, yang berpuasa, yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, yang berbuat kemaksiatan, yang berbuat ketaatan; hanya saja perbuatan ini ada dan terjadi dengan kehendak dan kemampuan yang diciptakan oleh Allah s.w.t. Dan alhamdulillah hal ini sudah cukup jelas.


Keempat tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk Allah s.w.t. Dan hal ini tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa manusia sebagai pelaku perbuatan. Seperti halnya kita katakan : “api membakar” padahal yang menjadikan api dapat membakar adalah Allah s.w.t. Api tidak dapat membakar dengan sendirinya, sebab seandainya api dapat membakar dengan sendirinya, tentu ketika nabi Ibrahim AS dilemparkan ke dalam api, akan terbakar hangus. Akan tetapi, ternyata beliau tidak mengalami cidera sedikitpun, karena Allah s.w.t berfirman pada api itu :


“ hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim”.
(Al Anbiya’: 69)


Sehingga Nabi Ibrahim tidak terbakar, bahkan tetap dalam keadaan sehat walafiat. Jadi api tidak dapat membakar dengan sendirinya, tetapi Allah-lah yang menjadikan api tersebut mempunyai kekuatan untuk membakar. Kekuatan api untuk membakar adalah sama  dengan kehendak dan kemampuan pada diri manusia untuk berbuat, tidak ada perbedaanya. Hanya saja, Karena manusia mempunyai kehendak, perasaan, pilihan dan tindakan, maka secara hukum yang dinyatakan sebagai pelaku tindakan adalah manusia. Dia akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang diperbuatnya, karena dia berbuat menurut kehendak dan kemauannya sendiri.     






cepsasdika.blogspot.com