Rabu, 03 Maret 2010

TELADAN SELURUH UMAT


Sesungguhnya pada diri Rasulullah (Muhammad) terdapat teladan yang baik.  (QS Al-Ahzâb [33]: 21)

Setidaknya, ada tiga pelajaran berharga yang bisa kita petik dari sosok Muhammad, sang rasul penyebar agama Islam. Pertama, ketekunannya dalam melakukan ibadah. Kedua, kepeduliannya terhadap persoalan sosial. Ketiga, kehidupannya yang tidak diperbudak oleh nafsu duniawi.


Muhammad melakukan ritual ibadah, antara lain dengan shalat, zikir, puasa, zakat, haji, dan lain-lain. Dalam momen ibadah ritual, kita berusaha “berinteraksi” dengan Allah, Tuhan yang mengenggam alam semesta dan mengendalikan kehidupan. Dengan beribadah, kita memasuki keheningan dan terus-menerus memperbarui ikrar untuk meneguhkan ikatan batin kita dengan kehidupan.

Dalam momen ibadah ritual, seseorang juga berusaha mengasah ruang “batin” dan “ruhani”-nya terus-menerus agar bisa menapaki kehidupan secara lebih baik, indah, bijak, dan bermakna. Dengan beribadah pulalah, kita berusaha menyelami kesejatian untuk melampaui fenomena duniawi yang fana dan sementara. Kita saat ini menapaki “alam dunia”. Alam yang pernah kita lalui adalah “alam ruh” dan “alam rahim”, sementara dua lainnya yang akan kita jelang adalah “alam barzakh” dan “alam akhirat”.

Kembali pada persoalan ibadah ritual; karena setiap manusia dalam kesehariannya—sadar atau tidak—sering kali terpancing (lagi) untuk melakukan hal-hal yang buruk, jahat, dan tidak terpuji, maka ruang batin dan ruhaninya sebaiknya terus diasah dalam suasana yang tenang, khusyuk, dan hening. Nafsu-nafsu destruktif yang potensinya ada pada diri setiap manusialah yang harus terus-menerus dikendalikan, antara lain, dengan laku-laku ritual semisal shalat, zikir, puasa, dan haji.

Kalau kita cermati secara kritis, momen ritual pun sebenarnya menyimpan makna moral dan sosial yang cukup kental. Dalam Islam, ritual bukanlah hal yang steril dari persoalan sosial. Ritual, dengan demikian, bukan merupakan tindakan untuk menghindar (eskapisme) dari persoalan sosial yang nyata dan mengelilingi kehidupan manusia setiap hari.

Sufi yang Peduli Sosial

Tak diragukan lagi, bercermin dari sejarah kehidupannya, Muhammad adalah sosok manusia yang terlibat aktif dalam persoalan sosial serta melakukan upaya transformasi sosial yang nyata. Kepedulian sosial Muhammad, antara lain tampak dari sepak terjangnya dalam membantu dan membela kaum miskin, sengsara, dan tertindas di satu sisi, serta melawan komunitas (baca: rezim politik dan ekonomi) yang otoriter dan zalim di sisi yang lain. Komunitas yang otoriter dan zalim ini misalnya adalah orang-orang Quraisy yang kaya dan berkuasa.

Muhammad juga sering mendamaikan beberapa komunitas (suku-suku Arab) yang bertikai satu sama lain. Visi sosial Muhammad sangat tampak dalam upaya menegakkan keadilan (sosial), kesetaraan, dan perdamaian.

Selain tekun melakukan ibadah dan punya kepedulian sosial, Muhammad juga seorang pribadi yang tidak pernah diperbudak oleh nafsu duniawi, semisal harta, kekuasaan, dan jabatan. Muhammad adalah sosok yang bersahaja. Meskipun mempunyai seorang istri yang kaya-raya bernama Siti Khâdijah serta cukup sukses sebagai seorang pedagang, Muhammad tidak pernah silau oleh materi.

Sosok zuhud dan sufi adalah orang yang mampu mengatasi dan mengendalikan “keinginan”-nya akan harta, kekuasaan, dan jabatan di satu sisi, serta tekun melakukan ibadah di sisi yang lain. Ibadah ini sangat penting bagi setiap umat Islam, sebagai upaya untuk menziarahi ruang batin dan ruhani serta mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah.

Kesufian yang diteladankan Muhammad bukanlah sufi yang “eskapis” (lari dari kenyataan), yakni sibuk melakukan ritual tetapi tidak peduli sosial, melainkan sufi yang taat beribadah sekaligus sangat peduli dan peka terhadap persoalan sosial di sekitarnya. Sama seperti nabi-nabi lainnya yang pernah muncul dalam sejarah, Muhammad adalah sosok revolusioner yang mencoba mengubah tatanan sosial yang timpang, tidak adil, dan menindas.

Melalui syariat dan ajaran agama yang disebarkannyalah Muhammad dan nabi-nabi lainnya mampu mewujudkan tatanan sosial yang adil, setara, demokratis, manusiawi, dan beradab. Untuk itu, tampaknya tak terelakkan, dalam perjalanan hidupnya para nabi sering kali melawan para penguasa yang zalim, otoriter, dan menindas. Nabi Ibrahim melawan raja Namrud, Nabi Musa melawan raja Firaun, Nabi Isa melawan para penguasa Romawi, serta Nabi Muhammad melawan para penguasa Quraisy dan suku-suku Arab lainnya yang arogan dan zalim.

Teladan Empat Nabi Legendaris

Ibrahim, Musa, Isa, dan (terutama) Muhammad (sang empat nabi legendaris) adalah para sufi besar yang mampu mengekspresikan tiga hal dalam diri mereka, sebagaimana saya sebut dalam awal tulisan ini; yaitu, tekun beribadah, peduli sosial, serta tidak diperbudak oleh nafsu duniawi. Nafsu duniawi yang dimaksudkan di sini adalah keinginan (yang berlebihan) akan harta, kekuasaan, dan jabatan duniawi.

Kalaupun pernah mempunyai harta dan materi dalam jumlah yang cukup besar, maka Muhammad adalah contoh seorang pribadi yang kaya dan selalu berusaha mendermakan kekayaannya untuk kepentingan orang banyak yang membutuhkan. Selain itu, kekayaan Muhammad juga untuk mendanai jihad dan perjuangan menuju sistem sosial yang adil, demokratis, dan manusiawi.

Seorang sufi yang kaya—sebagaimana pernah diteladankan Muhammad—seyogyanya bertekad memanfaatkan kekayaannya untuk sebanyak mungkin manusia. Harta benda sang sufi berguna dan berkah bagi masyarakat luas. Untuk itu, citra sufi sebenarnya tidak identik dengan kemiskinan, keprihatinan, dan hidup pas-pasan. Seseorang tentu saja sangat sah menjadi kaya, asalkan memeroleh kekayaan dengan cara yang baik, sehat, dan halal. Kekayaannya pun menjadi berkah dan berfaedah untuk sebanyak mungkin manusia.

Hanya orang yang mampu secara ekonomilah yang bisa menunaikan rukun iman kelima, yakni ibadah haji. Hanya orang yang (cukup) kayalah yang bisa membantu rakyat miskin dan kaum papa yang terpuruk. Hanya orang kayalah yang mampu mendermakan harta bendanya guna mendanai “perjuangan” di jalan Allah yang baik dan mulia.

Bercermin dari sosok Muhammad, kita seharusnya tidak hanya rajin beribadah, tetapi juga mampu “melampaui” nafsu dan kesenangan duniawi yang acapkali menjebak dan menjerumuskan. Selain itu, jauh lebih penting lagi kita sebaiknya punya kepedulian sosial yang tinggi terhadap persoalan kehidupan dan umat manusia di sekitar kita, baik pada level lokal, nasional, dan syukur bisa menyentuh level internasional.

Kepedulian sosial dalam konteks Indonesia sekarang yang relevan, antara lain memperjuangkan keadilan, demokrasi, dan kemaslahatan di satu sisi, serta melawan korupsi, kekerasan, penindasan, dan kezaliman pada sisi yang lain.

Dengan meneladani sosok Muhammad, marilah kita teguhkan diri kita untuk berhijrah, yakni berpindah dan berubah, misalnya dari kondisi yang pasif menuju tindakan aktif untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, adil, indah, dan maslahat.


cepsasdika.blogspot.com

LIMA KECINTAAN




Semoga Allah mengaruniakan kepada kita cinta yang hakiki, kecintaan yang tidak sekedar basa-basi, dengan lima kecintaan yang bisa menjadi jalan bertemu dengan Illahi Rabbi :



1. Cinta shalat - Shalat adalah amalan yang pertama kali di hisab di hari perhitungan nanti, jika bagus shalatnya maka bagus juga semua amalannya dan sebaliknya sebagus apa pun amalan lainnya jika tidak di iringi dengan shalat maka tidak aka nada nilainya.

2. Cinta shaum - Shaum sebagai latihan bagi seorang muslim, berlatih menahan makan, minum dan nafsu, juga melatih kepedulian. Di saat perut terasa lapar, kita akan teringatkan pada saudara lain yang belum tentu bisa makan, ingat pada anak-anak jalanan, fakir miskin, orang tua jompo, sehingga terbersit kepedulian kita untuk berbagi dengan mereka.

3. Cinta Al-Qur’an - Al-Qur’an di turunkan sebagai pedoman hidup bagi umat muslim, dan Al-Qu’an ada untuk dipelajari dan diamalkan bukan sekedar dibaca dan dihapalkan.

4. Cinta sedekah - Banyak keutamaan yang diperoleh dari sedekah, selain dapat mendatangkan rezeki, penolak bala, menyembuhkan penyakit, juga memperpanjang umur, dan Allah akan melipat gandakan pahala bagi yang melakukannya, sebagaimana yang tersirat dalam surat Al-Baqarah ayat 261, dimana Allah mengumpamakan orang yang bersedekah dengan sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai dan pada setiap tangkainya ada seratus biji, artinya, setiap satu kebaikan yang kita lakukan, Allah akan membalas dengan berratus-ratus kebaikan.

5. Cinta masjid - Masjid menjadi rumahnya Allah, maka masjid kerap menjadi tempat berkumpul orang-orang untuk shalat berjama’ah, mengkaji ilmu agama, memperoleh kasih saying dll.

Demikianlah, lima kecintaan yang harus tertanan dalam diri seorang muslim. Semoga kita di beri kemampuan untuk mengamalkannya. Amin. 





cepsasdika.blogspot.com